Saturday, February 3, 2007

Hasil Tes Aptitude Pemrograman Mhs. Thn I United Kingdom


Saeed Dehnadi dan Richard Bornat (paper pdf) melakukan sebuah tes apititude pemrograman
Learning to program is notoriously difficult. A substantial minority of students fails in every introductory programming course in every UK university. Despite heroic academic effort, the proportion has increased rather than decreased over the years. Despite a great deal of research into teaching methods and student responses, we have no idea of the cause.
It has long been suspected that some people have a natural aptitude for programming, but until now there has been no psychological test which could detect it. Programming ability is not known to be correlated with age, with sex, or with educational attainment; nor has it been found to be correlated with any of the aptitudes measured in conventional intelligence or problem-solving-ability tests.


We have found a test for programming aptitude, of which we give details. We can predict success or failure even before students have had any contact with any programming language with very high accuracy, and by testing with the same instrument after a few weeks of exposure, with extreme accuracy. We present experimental evidence to support our claim. We point out that programming teaching is useless for those who are bound to fail and pointless for those who are certain to succeed.
Berdasarkan hasil pengujian mereka, terdapat tiga kelompok dalam kelas pemrograman,

Kelompok yang ingin belajar lebih cepat
Kelompok yang mengatur diri dan berusaha supaya lulus
Kelompok yang belum memahami ide dasar pemrograman (sampai perkuliah selesai)

Tampaknya kesalahan bukan pada dosen (baik dari material maupun cara mengajarnya):
The cause isn’t to be found in inappropriate teaching materials or methods either. Essentially, the computer science community has tried everything (see section 2) and nothing works. Graphics, artificial intelligence, logic programming languages, OOP, C, C++, PROLOG, Miranda: you name it, we’ve tried it. We’ve tried conventional teaching, lab-based learning by discovery and remedial classes. We’ve tried enthusiasm and cold- eyed logical clarity. Nothing makes a difference. Even the UK’s attempt in the 1980s to teach the whole UK population to program on the BBC Micro ran into the sand.

Bagaimana dengan mahasiswa Indonesia ?

Tips Mendesign Website

Sering kita temui website yang tipikal: "Welcome to my homepage," animasi e-mail, background dengan tulisan miring (diagonal), animasi garis pembatas, tabel dengan border tiga-dimesi dan lain-lain. Hal ini terjadi akibat dari fasilitas Template yang disediakan oleh software pembuat web seperti: FrontpageT, Corel WebDesignerT, dan sebagainya yang ditujukan untuk mempermudah penggunanya dalam membangun website.
Jika anda puas dengan hasil kerja anda membangun website dengan fasilitas template, sudahlah cukup sampai disini. Tetapi jika anda tidak puas dengan apa yang anda buat, dan anda merasa ingin lebih baik, maka anda perlu mengetahui bagaimana Web Designer membangun suatu Website, terlepas anda punya bakat seni atau tidak.
Unik : Dalam membuat karya apapun seorang designer mempunyai kesadaran untuk tidak meniru atau menggunakan karya orang lain. Begitu pula seorang Web Designer harus mempunyai budaya malu untuk menggunakan icon, animasi, button, dll, yang telah digunakan atau dibuat oleh orang lain.
Komposisi : Seorang Web Designer selalu memperhatikan komposisi warna yang akan digunakan dalam website yang dibuatnya. Pergunakan selalu Palette 216 WebColor, yang dapat diperoleh dari Adobe.com, hal ini untuk mencegah terjadinya dither pada image yang berformat GIF. Dalam membangun website suatu perusahaan, Web Designer selalu menyesuaikan warna yang digunakan dengan Corporate Color perusahaan tersebut. Sebagai contoh: Telkom Corporate Color-nya adalah biru, Coca-Cola : merah dan putih, Standard-Chartered : hijau dan biru, dsb. Untuk kemudian warna-warna tadi digunakan sebagai warna dominan atau sebagai elemen pendukung (garis, background, button, dsb).
Simple : Web Designer banyak yang menggunakan prinsip "Keep it Simple", hal ini ditujukan agar tampilan website tersebut terlihat rapi, bersih dan juga informatif.
Semiotik : Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Dalam hal ini diharapkan dengan melihat tanda atau gambar, user/ audience dapat dengan mudah dan cepat mengerti. Sebagai contoh: Jangan membuat gambar/image yang berkesan tombol, padahal itu bukan tombol/ link.
Ergonomis : Web Designer selalu memperhatikan aspek ergonomi. Ergonomi disini adalah dalam hal kenyamanan user dalam membaca dan kecepatan user dalam menelusuri website tersebut. Web Designer memilih ukuran Fonts yang tepat sehingga mudah dibaca, Web Designer menempatkan link sedemikian rupa sehingga mudah dan cepat untuk di akses dan lebih penting lagi adalah Informatif.
Fokus : Tentukan hirarki prioritas dari pesan yang akan disampaikan, misalnya: Judul harus besar, tetapi jangan sampai akhirnya akan konflik dengan subjudul yang berukuran hampir sama. Hal ini akan membingungkan user/audience untuk menentukan pesan mana yang harus lebih dahulu dibaca/ dilihat.
Konsisten : Tentukan font apa yang akan digunakan sebagai Body-text, Judul, Sub Judul dan sebagainya, sehingga website tersebut akan terlihat disiplin dan rapi. Sesuaikan jenis huruf yang digunakan dengan misi dan visi website tersebut, misalnya: hindari menggunakan font Comic dalam membangun website suatu perusahaan resmi. Demikian beberapa aspek dan prinsip yang digunakan Web Designer dalam membuat website, selebihnya merupakan ekspresi dari pembuat website itu sendiri yang terwujud dalam penggayaan penyusunan website.

Friday, February 2, 2007

Thursday, February 1, 2007

TUTORIAL SMS GATEWAY

dapat anda download disini : http://www.mediafire.com/?dy92hzc3h1x